Indeks
Opini  

Suara Dan Aspirasi Rakyat Berujung Memprihatinkan

Uswatun Hasanah. Mahasiswi Universitas Noor Huda Mostofa Bangkalan Madura

JAGOBERITA.ID-Bangkalan. Pada malam 28 Agustus 2025, kenyataan yang kita hadapi kembali menunjukkan bahwa kondisi bangsa masih berjalan dalam pola yang sama. Merdeka, tetapi bingung. Bingung, tetapi merdeka. Sebuah ironi yang menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia.

“Menuju Indonesia Emas: Merdeka Tapi Bingung, Bingung Tapi Merdeka”

Aksi yang semula digelar untuk menyuarakan aspirasi rakyat terkait isu ekonomi dan kebijakan negara justru berujung pada peristiwa memilukan. Seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurnian (21 tahun), yang merupakan tulang punggung keluarga, tewas setelah terlindas kendaraan Brimob di kawasan Pejombongan, Jakarta Barat. Yang tergeletak di jalan bukan hanya jasad seorang pengemudi ojek online, melainkan juga harga diri bangsa yang retak akibat arogansi kekuasaan.

Gelombang solidaritas atas insiden tersebut kemudian meluas ke berbagai kota besar seperti Bandung, Surabaya, dan Makassar. Kemarahan rakyat semakin memuncak, bentrokan antara massa dan aparat pun semakin tak terhindarkan. Sementara itu, kepolisian merapatkan barisan dan terus menembakkan gas air mata ke arah demonstran.

Hari ini, merah putih tak lagi gagah dalam setiap kibaran. Maknanya tak lagi sama. Jika dahulu merah melambangkan keberanian, kini merah seolah menjelma menjadi darah rakyat. Jika putih dimaknai sebagai kesucian, maka hari ini putih hanyalah kepolosan rakyat yang terus dimanfaatkan oleh para penguasa di dalam sana.

Ricuh Demo di Solo: Dua Paramedis Jadi Korban Kekerasan Aparat

Kita hidup di sebuah negara yang kian terasa tak aman, seolah menancapkan duri yang tak lekang oleh waktu. Aparat, yang sejatinya menjadi simbol negara, kini tampak lebih setia pada pejabat ketimbang rakyat. Rasa kemanusiaan seakan hilang, hingga nyawa dan keselamatan tak lagi dianggap berharga.

Pada 29 Agustus 2025, di Solo, dua paramedis menjadi korban saat terjadi kericuhan dalam aksi massa di sekitar Bundaran Gladak. Kedua paramedis tersebut sejatinya bertugas menyelamatkan korban yang terkena gas air mata, namun justru mengalami tindak kekerasan dari aparat. Seorang relawan yang berada di dalam ambulans menceritakan, mereka bermaksud menuju area Lapas, tak jauh dari Bundaran Gladak, untuk memberikan bantuan medis kepada para demonstran. Namun, sebelum sampai di lokasi, ambulans yang mereka tumpangi dihentikan secara paksa. Meski telah berulang kali berteriak “Medis!”, aparat tetap melakukan tindak kekerasan.

Akibat insiden tersebut, dua relawan medis menjadi korban: Dika mengalami luka cukup parah, sementara Raditya menderita luka ringan

Tenaga Medis Jadi Korban: Hak Asasi dan Kemanusiaan Dipertanyakan

“Mas Dika mengalami luka robek di kepala sekitar 10 sentimeter dengan 12 jahitan. Saat ini masih dirawat di RS PKU dan menjalani proses CT Scan. Sementara itu, relawan lain yang dirawat di RS Panti Waluyo hanya mengalami luka ringan,” jelas seorang saksi.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: masihkah hak asasi dan nilai kemanusiaan paling dasar dihargai di negeri ini? Padahal, secara hukum, perlindungan terhadap tenaga medis jelas diatur. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 273 Ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa tenaga medis tidak boleh menjadi sasaran kekerasan, bahkan dalam situasi konflik sekalipun.

Demokrasi yang Membisu: Aspirasi Rakyat yang Terabaikan

Negara kita adalah negara demokrasi. NKRI harga mati, sebuah negara kesatuan yang menaungi semua golongan. Namun kenyataannya, suara rakyat kian dibuat tuli. Rakyat diadu, dipaksa saling tindas-menindas, sementara para penguasa bersembunyi di balik janji dan kata-kata kosong. Demokrasi yang sejatinya menjadi ruang bagi rakyat untuk bersuara kini seakan hanya menjadi slogan belaka. Aspirasi rakyat seringkali tidak benar-benar didengar, bahkan dibungkam dengan berbagai cara. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka makna persatuan yang menjadi dasar berdirinya bangsa akan semakin pudar. Sudah saatnya rakyat kembali bersatu, mengawal janji-janji kemerdekaan, dan memastikan bahwa demokrasi bukan hanya milik segelintir penguasa, melainkan hak seluruh rakyat Indonesia.

Kini saatnya kita bersama-sama menyampaikan aspirasi tanpa harus saling membenci, apalagi saling melukai. Seperti pesan Tan Malaka: “Janganlah takut melawan ketidakadilan. Jika kita tidak berani melawan, kita tidak akan pernah merasakan kemenangan.”

Mari Sampaikan Aspirasi dengan Berani, Tepat Sasaran, dan Tanpa Anarki

Kita, sebagai generasi muda, jangan mudah terkecoh oleh arus media sosial yang kerap menggiring opini dengan berita-berita yang belum tentu benar. Dalam situasi seperti sekarang, tidak menutup kemungkinan ada oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan untuk memperkeruh suasana.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memilah informasi dengan bijak, memastikan kebenarannya, dan tidak mudah terprovokasi. Generasi muda harus tampil sebagai penopang persatuan, bukan terjebak dalam adu domba. Suara kita sangat berarti, tetapi harus disampaikan dengan cara yang cerdas, damai, dan tepat sasaran demi kebaikan bangsa.

*Oleh: Uswatun Hasanah.
– Mahasiswi Universitas Noor Huda Mostofa Bangkalan Madura.
– Aktivis Organisasi forum komunikasi mahasiswa santri Banyuanyar (FKMSB) Bangkalan.

*Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi jagoberita.id

*Panjang naskah dalam opini maksimal 5.000 karakter atau sekitar 700 kata

*Rubrik opini di JAGOBERITA terbuka untuk umum. Sertakan riwayat kehidupan singkat serta Foto diri

Exit mobile version