JAGOBERITA.ID-Surabaya. Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Nasrawi, menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan Wali Kota Surabaya yang menetapkan jam malam bagi anak di bawah 18 tahun. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya minim pendekatan edukatif, tapi juga menyimpan aroma pengalihan isu dari persoalan besar yang belum tuntas: amburadulnya pengelolaan parkir dan potensi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kami menduga ini bukan semata demi melindungi anak, tapi justru menutupi persoalan mendasar yang selama ini diabaikan. Publik jangan dibungkam oleh ilusi ketertiban,” tegas Nasrawi, di Surabaya.
Kritik Tajam dari Mahasiswa: Tiga Masalah Utama
Pertama, kebijakan ini represif dan minim edukasi.
“Ketika anak-anak nongkrong malam, mereka langsung ditertibkan. Tapi apakah kita sudah menyediakan ruang aman dan sehat untuk tumbuh-kembang mereka di luar sekolah? Anak bukan pelanggar hukum yang perlu diburu malam-malam.
Mereka butuh ruang, bukan pengusiran,” ucap Nasrawi.
Kedua, alih-alih menuntaskan masalah sosial, justru lari dari sumbernya.
Menurutnya, kenakalan remaja tidak bisa dipisahkan dari faktor ekonomi, tekanan keluarga, hingga kurangnya ruang kreativitas. “Solusinya bukan jam malam, tapi kebijakan afirmatif. Di mana rumah komunitas anak muda? Di mana ruang diskusi warga yang dibuka malam hari?” tambahnya.
Ketiga, kebijakan ini janggal secara waktu dan motif.
Nasrawi menilai kebijakan ini muncul ketika sorotan publik terhadap kasus carut-marut parkir liar dan kebocoran retribusi parkir kian menguat. Dalam laporan investigatif dan data Pemkot sendiri, ditemukan potensi kebocoran PAD parkir hingga miliaran rupiah per tahun.
“Pertanyaannya, kenapa anak-anak yang diburu, bukan oknum di balik mafia parkir?” sindir Nasrawi tajam.
Mahasiswa Minta Pemerintah Tidak Gagap Hadapi Masalah Sosial
Sebagai representasi suara mahasiswa, Nasrawi mengingatkan bahwa solusi terhadap persoalan sosial anak tidak bisa dibangun di atas ketakutan dan stigma.
“Penertiban jam malam hanyalah tambal sulam. Kita butuh kebijakan yang menyentuh akar. Kalau terus begini, ini bukan kota ramah anak — tapi kota yang gagal paham soal anak.”
Ia pun menantang Pemkot Surabaya untuk transparan membuka data evaluasi kebijakan tersebut: mulai dari jumlah anak yang ditertibkan, bentuk pembinaan, hingga dampaknya pada pendidikan dan psikologis anak-anak tersebut.