JAGOBERITA.ID-Jombang. Di negeri yang katanya berdaulat dan adil ini, perhatian negara justru tercepat hadir bukan saat rakyat kelaparan, tapi saat seorang ayah mengantar anaknya sekolah. Seolah tak ada yang lebih mendesak, negara berubah jadi komentator gaya parenting, lengkap dengan analisis moral dan bumbu politik murahan. Padahal di luar sana, banyak kepala keluarga justru tak bisa tidur karena bingung bayar SPP anak bulan ini. Tapi hal itu tidak cukup viral untuk dibahas.
Inilah negeri yang gagal membedakan mana ruang privat, mana tanggung jawab publik. Ada semacam kenikmatan aneh dari para elit untuk mencampuri hal-hal yang seharusnya tidak mereka urusi. Urusan kecil dibesar-besarkan, sementara persoalan besar seperti judi online dan pinjaman ilegal justru dianggap angin lalu. Negara ini seperti netizen yang kebetulan punya kekuasaan, tapi tetap sibuk main drama di kolom komentar.
Judol, alias judi online, bukan sekadar masalah digital. Ia adalah lubang hitam yang menelan rumah tangga dan nyawa. Tahun lalu saja, Kominfo mencatat lebih dari 1,7 juta transaksi harian. Tapi yang ditangkap cuma buzzer recehan dan pemilik akun TikTok abal-abal. Bos besarnya entah di mana. Negara seperti tukang kebun yang rajin memotong daun, tapi tak pernah mencabut akar.
Pinjol ilegal juga tak kalah kejam. Mereka menyamar jadi solusi, lalu berubah jadi lintah. Bunganya mencekik, ancamannya membunuh. Tapi negara justru lebih tertarik memantau siapa yang viral karena antar anak sekolah. Laporan ke OJK dan polisi hanya jadi tumpukan dokumen, sementara korban makin banyak dan pelaku tetap bebas.
Narkoba Sama saja. Ratusan ribu kasus tiap tahun menurut data BNN. Tapi yang ditangkap cuma pengguna jalanan dan artis yang apes. Bandar besar dan jaringan distribusi rapi? Ajaibnya bisa lenyap seperti sulapan. Negara ini seperti petugas keamanan yang sibuk mengejar bayangan, bukan pencuri sesungguhnya.
Korupsi. Ah, itu sudah seperti upacara bendera. rutin, tapi hambar. KPK mencatat lebih dari 120 kasus korupsi pada 2023, tapi kita semua tahu itu hanya pucuk es kecil di lautan busuk. Hukum hadir seperti kabut menghalangi pandangan, tapi tak pernah benar-benar menyentuh tanah.
Sementara itu, pendidikan tetap jadi proyek tambal sulam. Sekolah rusak, guru honorer gajinya memalukan, akses ke perguruan tinggi mahalnya seperti naik ke awan. Indeks Pendidikan kita bahkan masih tertinggal dari Vietnam dan Malaysia. Tapi yang heboh tetap saja urusan seragam dan model rambut. Seolah itu yang akan mengubah nasib bangsa.
Budang kesehatan jangan berharap banyak. Rasio dokter kita hanya 0,4 per 1.000 penduduk, masih jauh dari standar WHO. Banyak daerah tak punya dokter tetap, puskesmas kosong obat, dan warga harus jual ternak demi operasi. Tapi, ya itu, yang jadi trending malah konser dan seleb, bukan krisis kesehatan yang nyaris permanen.
Lapangan pekerjaan makin menyempit. UMP belum cukup buat hidup layak, dan rumah masih jadi mimpi siang bolong bagi jutaan warga. Lebih dari 12 juta rumah tak layak huni menurut Kementerian PUPR. Sementara itu, air bersih masih jadi kemewahan di Indonesia Timur, tapi negara lebih sibuk mendikte cara orang tua menyayangi anaknya.
Ayah mengantar anak sekolah adalah simbol bahwa keluarga masih berfungsi. Tapi ketika negara merasa perlu mengurusi hal itu dan melupakan persoalan pokok, maka jelas ada kekacauan prioritas. Seperti pemadam kebakaran yang datang ke lapangan futsal karena ada asap rokok, bukan ke rumah yang terbakar.
Kita hidup di negara yang terobsesi dengan pencitraan. Di mana wajah negara lebih penting daripada wajah rakyat. Di mana isi diabaikan demi memburu simbol. Negara menjadi seperti penjaga stadion yang sibuk merapikan rumput, padahal pertandingannya sudah dibatalkan karena tak ada bola.
Wajar jika rakyat mulai sinis. KKN bukan lagi dosa, tapi tradisi yang diwariskan. Nepotisme bukan lagi aib, tapi strategi. Dan “nama ayah” bukan lagi identitas keluarga, tapi tiket naik pangkat. Sayangnya, tak semua anak punya ayah yang menjabat. Banyak yang tetap jadi buruh meski tiap pagi diantar penuh cinta.
Selamat datang di republik simbolik. Negeri di mana urusan pribadi dijadikan tontonan, sementara urusan publik dititipkan pada nasib. Negara yang mengatur cinta keluarga, tapi lupa menyediakan tanah dan gaji yang layak untuk mereka bertumbuh.
*Oleh: Nur Kholis
*Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi jagoberita.id
*Panjang naskah dalam opini maksimal 5.000 karakter atau sekitar 700 kata
*Rubrik opini di JAGOBERITA terbuka untuk umum. Sertakan riwayat kehidupan singkat serta Foto diri