banner 728x250
Opini  

Ekosistem di Ujung Tanduk. Raja Ampat Butuh Perawat, Bukan Penambang

banner 120x600
banner 468x60

JAGOBERITA.ID-Surabaya. Dalam laporan keperawatan, ada satu kolom penting: diagnosis keperawatan. Dimana disitu kita tuliskan masalah pasien berdasarkan data objektif dan subjektif. Maka izinkan saya menulis diagnosis ini:

Diagnosa Keperawatan: “Gangguan integritas ekologi berhubungan dengan aktivitas pertambangan masif di wilayah konservasi Raja Ampat, ditandai dengan kerusakan hutan, pencemaran air, hilangnya terumbu karang, dan stres komunitas lokal.”

banner 325x300

Raja Ampat bukan cuma tempat wisata. Ia adalah pasien. Seorang pasien dengan multi-trauma sistemik, paru-parunya rusak karena polusi, kulitnya robek karena tambang, sistem imun sosialnya ambruk karena eksploitasi.

dan yang paling menyedihkan? Ia tidak dirawat. Ia dikhianati oleh para “tenaga kesehatannya”: pemerintah, investor, dan masyarakat yang memilih diam saat nyawanya meregang.

Sebagai mahasiswa keperawatan, kami diajarkan untuk selalu verify before you medicate. Tapi tampaknya logika ini tak berlaku bagi mereka yang dengan mudah “mengobati” krisis energi dengan menggali nikel dari jantung ekosistem.

Mereka bilang, nikel dibutuhkan untuk baterai mobil listrik. Mereka lupa, pasien kita ini alergi terhadap tambang. Hasilnya adalah reaksi anafilaksis ekologis: pohon tumbang, laut tercemar, ikan mengungsi, masyarakat lokal depresi sosial.

Apakah ini transisi energi? Atau hanya prosedur malpraktik yang dibungkus dengan retorika teknologi hijau?

Patofisiologi: Raja Ampat Gagal Sistemik

Coba lihat anatomi Raja Ampat seperti tubuh manusia.

Hutan adalah paru-paru, laut adalah sistem sirkulasi, terumbu karang adalah sistem imun. Kini semuanya rusak. “500 hektar hutan dibuka di Pulau Gag dan Kawe,” (Sumber: Greenpeace Indonesia, 2025)

Apa dampaknya? Gangguan pada homeostasis lingkungan. Sedimentasi menutup terumbu karang seperti emboli paru yang menyumbat oksigenasi kehidupan laut. Ekosistem kolaps seperti pasien henti jantung.

Butuh resusitasi, bukan justifikasi. Dalam konsep holistic nursing care, kita diajarkan untuk tidak hanya merawat tubuh, tapi juga psikososial klien. Tapi di sini, masyarakat Raja Ampat justru jadi korban yang diabaikan total. Bayangkan kamu perawat, melihat klien trauma kehilangan seluruh mata pencaharian, akses air bersih rusak, dan tempat tinggalnya dicemari logam berat. Tapi alih-alih diberi penanganan, justru ditawari kerja tambang dan janji palsu. Ini bukan care, ini neglect

Saat sistem tubuh melawan infeksi, ia mengaktifkan sistem imun. Begitu juga ketika Greenpeace dan warga lokal menggelar aksi damai di Konferensi Mineral Indonesia. Mereka bukan pengacau. Mereka adalah sel-sel imun yang berusaha menyelamatkan pasien bernama Raja Ampat.

Tapi respons negara? Immunosuppressive. Aksi dibubarkan, aktivis ditahan. Padahal jika kita belajar dari fisiologi, menekan sistem imun saat tubuh diserang hanya akan mempercepat kematian.

Dalam dunia keperawatan, kita bicara soal prognosis. Dan sayangnya, prognosis Raja Ampat buruk. Bila tidak ada intervensi: kerusakan permanen dalam 3–5 tahun. (Sumber: Deep Sea Reporter, 2025)

Kalau dibiarkan, kelak generasi berikut hanya bisa melihat Raja Ampat lewat museum keanekaragaman laut yang pernah ada, bukan lewat snorkel dan kamera bawah laut.

Rencana Asuhan: Resep dari Mahasiswa Keperawatan

Sebagai calon perawat profesional, izinkan saya menulis intervensi keperawatan untuk negeri ini:

  • Diagnosa utama: Gangguan ekosistem akibat aktivitas tambang.
  • Tujuan jangka panjang: Meningkatkan status kesehatan ekologis Raja Ampat.
  • Intervensi: Berhentikan semua aktivitas tambang di zona kritis.
  • Promosikan healing environment melalui pariwisata berkelanjutan.
  • Libatkan masyarakat lokal sebagai mitra dalam konservasi, bukan objek belas kasihan.
  • Evaluasi ketat terhadap izin eksploitasi sumber daya alam.

Dalam proses keperawatan, fase terakhir adalah evaluasi. Maka mari kita bertanya: Apakah kita sudah jadi perawat yang peduli? Atau malah berubah jadi “tenaga kesehatan palsu” yang memperparah kondisi pasien?

Raja Ampat sedang sekarat. Dalam kondisi kode biru. Jantung ekologinya butuh CPR. Tapi pertanyaannya: siapa yang siap pasang ambu bag, siapa yang cuma pasang muka datar di sosial media?

Raja Ampat bukan hanya butuh simpati, Ia butuh intervensi,  butuh tim medis ekologis, bukan tamu hotel yang hanya datang untuk selfie lalu pulang. Kode biru sudah berbunyi—darurat ekologis!

Tapi alih-alih berebut defibrilator, kita malah sibuk berdebat: “Apakah pasien ini masih layak diselamatkan atau tidak?”

Sementara itu, denyut nadi terumbu karang melemah. Saturasi oksigen laut menurun. Kesadaran masyarakat mulai menurun drastis. Dan yang lebih menyakitkan: para tenaga penyelamatnya justru asyik menambang di sekitar luka terbuka.

Sebagai mahasiswa keperawatan, saya tahu satu hal: dalam kondisi kritis, waktu adalah segalanya. Semenit saja terlambat, yang kita tangisi nanti bukan hanya kematian satu tempat, tapi hilangnya satu organ vital bumi yang tak tergantikan.

Maka sekarang, saat ini juga, kita harus bertanya dengan jujur ke dalam hati masing-masing: Apakah kita akan jadi perawat atau tenaga kesehatan yang menutup mata saat pasiennya henti napas? Atau… Apakah kita akan jadi generasi yang mengayunkan tangan CPR bukan untuk gaya tapi untuk menyelamatkan dunia? Pilihannya ada pada kita. Tapi ingat, jika hari ini kita diam, besok saat Raja Ampat benar-benar mati, jangan pernah menangis. Karena tangisan tidak akan pernah menghidupkan pasien yang sudah dikubur.

*Oleh: Nasrawi Ibnu Dahlan | Presiden Mahasiswa BEM UM Surabaya (Mahasiswa S1 Keperawatan 2024)

 

*Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi jagoberita.id

*Panjang naskah dalam opini maksimal 5.000 karakter atau sekitar 700 kata

*Rubrik opini di JAGOBERITA terbuka untuk umum. Sertakan riwayat kehidupan singkat serta Foto diri

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *